Freelancer Serba Bisa vs Freelancer Spesialis

by | Sep 26, 2018 | Freelancer's Note | 4 comments

Kalau Anda mau beli kamera, pilih beli di toko kamera, atau toko elektronik reguler yang serba ada? Tergantung kebutuhan sih. Jika kamera yang dibutuhkan hanya kamera standar yang penting bisa selfie mungkin nggak masalah beli dimana aja. Tapi jika yang Anda butuhkan adalah kamera profesional yang rada high-end, ditambah kebutuhan aksesoris dan lensa ini itu, Anda akan lebih memilih toko khusus kamera, apalagi yang pedagangnya punya product knowledge yang ok. Lantas apakah toko elektronik serba ada itu menjadi tidak laku? Nggak juga. Bisnis mereka tetap bertahan karena tidak semua pelanggannya paham kamera dan butuh kamera high-end. Seperti halnya apotek generik juga bertahan dalam bisnis, karena penyakit-penyakit generik juga masih ada.

Pola yang sama berlaku di dunia freelancing. Banyak freelancer pemula yang bertanya-tanya sebaiknya pilih skill apa. Fokus di satu skill, eh tapi skill tetangga juga banyak demandnya dan feenya lebih kinclong, akhirnya tergiur juga belajar skill ini-itu dan memilih menjadi freelancer serba bisa. Nggak ada salahnya sih, karena memang itu adalah salah satu strategi dunia persilatan freelancing. Apakah ada pengaruhnya terhadap profiling kita dari sudut pandang client?

Jack of All Trades vs Master of One

Menjadi seorang spesialis, bukan berarti menjadi fanboy pada satu skill, lalu menjadi hater pada skill yang lain. Rata-rata client suka spesialis yang paham banyak hal, yang bisa diajak konsultasi ketika dia ada pertanyaan. Menjadi spesialis artinya siap menjadi jawaban terbaik dari setiap pertanyaan client. Benefit utama dari seorang spesialis adalah tampak lebih meyakinkan dibandingkan freelancer serba bisa untuk solving problem yang spesifik. Seperti halnya untuk penyakit jantung kita akan lebih yakin pada dokter spesialis jantung daripada dokter umum, walaupun dokter umumnya bisa saja lebih benar.

Dan sebaliknya, menjadi freelancer serba bisa tidak berarti menjadi medioker pada banyak hal. Semua skill yang dicantumkan harusnya bisa dipertanggungjawabkan, bukan sekedar jadi produk yang berdebu di etalase profil. Salah satu keuntungan menjadi Jack of All Trades adalah lebih mudah adaptasi. Dan kemampuan adaptasi ini adalah skill wajib di dunia freelancing yang trendnya dinamis. Kadang kalau project sudah jalan, ada client yang tiba-tiba nanya “Can you do this? Can you do that?” yang diluar alasan awal kenapa kita dihire. Biasanya hanya simple task, misal konversi video ke gif, publish app ke market, atau sekedar tambah annotation untuk dokumennya. Selain itu, seorang Jack of All Trades yang memahami banyak bidang cenderung dipercaya menjadi konektor antar tim, bahkan mendapat kesempatan untuk memanage tim. Paham ini itu ditambah attitude yang ok, akan sangat valuable untuk rising to the top.

Image result for specialist vs generalist

Mix & Match skill yang sebaiknya ditulis di Profile

Walaupun memilih untuk menjadi “toserba”, tetap saja butuh untuk mix and match skill yang dicantumkan untuk meyakinkan calon client. Apalagi untuk skill yang tidak banyak expertnya. Kombinasi PHP + Project Management lebih terlihat masuk akal dibandingkan kombinasi Java, C++, PHP, Photoshop, Illustrator, Marketing. Walaupun kami percaya ada aja sih orang yang memang nyatanya menguasai skill-skill itu. But still, client akan lebih percaya kombinasi yang masih sejalur.

Dan spesialis pun tidak berarti hanya menulis satu skill. Cantumkan skill atau industri pendukung (certification too kalau ada!) agar lebih terlihat use-case skill utamanya. Misal spesialis marketing, khususnya social media campaign. Atau misal PHP Expert, terlebih bidang e-commerce. Jadi tidak hanya mencantumkan skill general, tapi lebih ke arah spesialisasi yang lebih mendalam. Ya misal, dokter gigi taring anak macan Sumatra.  Jangan lupa luangkan waktu untuk riset skill spesialis di ranah yang tidak banyak pesaingnya (a.k.a blue ocean strategy), tentu itu bisa menjadi advantage tersendiri di pasar yang makin kompetitif.

Pengaruhnya Ke Pricing

Pernah suatu ketika, diminta salah satu client untuk bantu proses hiring untuk project barunya. Budgetnya termasuk tarif menengah ke atas untuk skill yang dibutuhkan. Yang itu artinya, reputasi kita dipertaruhkan kalau sampai hire freelancer yang tidak sesuai ekspektasi client.

Nah ketika kondisi high risk inilah, freelancer spesialis lebih meyakinkan. Mirip dengan kasus beli kamera profesional di atas. Kamera profesional lebih mahal dan jadinya lebih menciptakan kondisi high-risk. Saat itu, kami sebagai hiring manager cenderung langsung skip mereka yang terlihat multi talenta, dan lebih mengshortlist spesialis di bidang yang diminta client, walaupun harga mereka lebih tinggi daripada applicant yang serba bisa tadi.

Dan menjadi freelancer serba bisa harus sedikit rela dibayar lebih kecil dari spesialis. Karena alasan utama client tidak pilih expert untuk kerjaannya adalah penghematan atau memang tipikal projectnya yang tidak butuh yang expert banget. Akan tetapi, memilih menjadi spesialis juga tidak terhindar dari resiko skill yang obsolete. Anda menjadi lebih bergantung pada moncernya tech atau apps yang Anda geluti. Boleh jadi investasi waktu dan uang Anda untuk belajar suatu skill secara mendalam tiba-tiba menjadi hilang atau menyusut drastis manakala ada perubahan bisnis yang drastis terhadap tech atau apps tersebut.

Perkembangan karir dan kemana harus menuju

Kalau ditanya bisa berkembang nggak sih karir mereka yang memilih menjadi “toko serba ada” atau master 1 bidang? Keduanya sama-sama bisa berkembang. Apalagi pasarnya masing-masing juga memang ada. Karena sebenernya yang penting itu adalah fokus pada positioning profil Anda. Nah, Anda mau fokus sebagai spesialis, atau fokus sebagai multi-talenta? Tentu dua-duanya sama-sama laku. Yang nggak laku, adalah mereka yang tidak jualan. Any thoughts? Please leave comment di bawah.

Metal Gear Solid Enthusiast, Quality Assurance Specialist via Upwork

Co-Founder & Chairman of kfi.or.id, e-Commerce & Machine Learning at Upwork